visibility:hidden
Selasa, 06 Januari 2015


Mari bicara tentang hubungan nalar dengan bahasa. Kalau ada sesuatu yang kita pikirkan, kita akan menyampaikannya dengan bahasa agar orang lain dapat menangkap apa yang kita pikirkan itu. Kita susun kata-kata dalam kalimat yang mendukung pikiran tersebut. Pikiran yang dikemukakan dengan kata-kata itu haruslah logis, masuk di akal sehingga dapat dipahami orang dengan baik. Itulah yang disebut nalar. Kalau bahasa yang kita gunakan itu kacau, maka bahasa itu tidak sesuai dengan nalar baik kita atau nalar orang yang mendengarnya. Sebuah contoh yang sederhana :
Seorang murid yang belum mengerti benar apa yang baru saja dijelaskan gurunya mengacungkan tangan. Guru menunjuk dia karena ia tahu bahwa murid itu tentu akan menanyakan sesuatu. Murid itu berkata,”Pak, saya belum jelas”. Guru langsung dapat menangkap bahwa bahasa yang diucapkan muridnya itu salah. Tapi dia ingin berkelakar dulu sebelum benar-benar memenuhi permintaan muridnya itu. Katanya, ”Mengapa kau tidak jelas? Ada apa dengan engkau sehingga tidak jelas?” Murid yang bertanya itu dengan teman-temannya heran mendengar jawaban guru itu.
Guru mengulang lagi,”Anak-anak, Ina (nama murid itu) tadi mengatakan,”Pak, saya belum jelas”. Jadi Bapak tanyakan lagi, mengapa Ina tidak jelas? Yang belum jelas itu saya dan saya itu Ina, bukan?” Semua murid tertawa karena sekarang mereka mengerti bahwa bahasa yang digunakan Ina itu salah.
”Ina,” sambung guru lagi,”seharusnya kamu mengatakan,’Bagi saya, yang Bapak jelaskan tadi belum dapat saya pahami benar”. Kalimat yang kamu gunakan tadi salah, bukan?” Ina tersenyum tersipu-sipu mendengar apa yang dikatakan gurunya itu. Sekarang mari kita bicara tentang bahasa yang salah nalar.
Dalam sebuah majalah ditulis sebagai berikut. ”Kartolo, penyanyi yang terkenal pada tahun 1970-an itu telah dipanggil Tuhan untuk selama-lamanya”. Perhatikan apa yang salah dalam kalimat itu. Kalimat itu mengatakan bahwa Kartolo telah dipanggil Tuhan. Itu artinya, Kartolo telah meninggal karena dia telah kembali ke hadirat Allah SWT. Tetapi ungkapan itu diikuti oleh frase untuk selama-lamanya. Mungkinkah Tuhan memanggil Kartolo selama-lamanya? Bukankah hanya sekali dia dipanggil dan setelah itu dia ”pergi” menghadap Tuhan.
Biasanya dikatakan dia pergi untuk selama-lamanya karena dia tidak akan pernah kembali lagi ke tengah-tengah kita yang ditinggalkannya. Bukan Tuhan memanggilnya untuk selama-lamanya karena panggilan itu hanya berlaku sesaat. Ketika panggilan Tuhan itu datang, ajal Kartolo pun tiba, lalu meninggallah dia dan pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Jadi, dalam kalimat itu telah timbul kesalahan bahasa yang tidak mendukung nalar yang benar.
Contoh berikut mungkin dapat juga kita golongkan ke dalam salah nalar karena bentuk kata yang digunakan tidak mendukung arti yang dimaksudkan oleh si penulis. Pada sebuah surat kabar tertulis sebagai berikut : Mengkritisi Putusan PK Tommy Soeharto (Kepala Berita). Perhatikan kata mengkritisi. Apa arti kata mengkritisi yang dibentuk dari bentuk dasar kritisi yang diberi awalan meng-? Kata kritisi adalah bentuk jamak dari kata kritikus yang berarti ”orang yang ahli mengkritik” (tentu saja orang yang ahli dalam bidangnya).
Jadi kritisi berarti ”ahli kritik dalam jumlah besar”. Mungkinkah kata itu diberi awalan meng-? Pada umumnya awalan meng- memberikan pengertian ”orang yang melakukan”, misalnya memasak artinya melakukan pekerjaan masak. Jadi, apa arti kata mengkritisi? Bentuk yang benar adalah mengkritik yang berarti melakukan kritik atau menyampaikan kritik. Perhatikan contoh pemakaian kata-kata itu secara tepat di bawah ini :
1. Kritik yang disampaikannya dalam rapat itu terlalu keras.
2. Mendengar kritik itu telinganya menjadi merah.
3. Dia mengkritik lawannya dengan argumentasi yang kuat.
4. Tidak ada orang yang senang dikritik walaupun kritik itu mengungkapkan kesalahan yang dapat diterima.
5. Almarhum H.B Jassin adalah seorang kritikus sastra Indonesia yang terkenal.
6. Jumlah kritisi sastra di Indonesia dapat dihitung dengan jari.
Mudah-mudahan penjelasan di atas dapat menyadarkan kita untuk tidak menggunakan kata mengkritisi atau dikritis yang salah itu. Gunakan bentuk yang benar yaitu mengkritik dan dikritik. (Edi B Mulyana, S. Pd)

0 komentar:

Posting Komentar

Boleh komentar asal dengan kata-kata yang sopan...!